Fiqih Muamallah dalam Arti sempit(khas) adalah jual beli. Beberapa definisi fiqih muamallah menurut ulama adalah:
1. Menurut Hudhari Beik:
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaaat.”
2. Menurut Idris Ahmad:
“Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.”
3. Menurut Rasyid Ridha:
“Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.”
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang. Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211). Di dalam Fiqhus sunnah disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat. Dalam Al-qur’an kata jual beli terjemahan dari lafaz bai’a seperti tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)
Syarat dari jual beli yang pertama adalah antaroddin (saling ridho), yakni penjual ridho hartanya dijual dan pembeli juga ridho membeli harta tersebut. Dalam hal ini tentu saja tanpa ada paksaan diantara kedua belah pihak. Jika ada unsur paksaan di dalamnya, maka akad jual beli tidaklah sah. Dijelaskan dalam ilmu ushulfiqh jual beli adalah proses penukaran suatu barang dengan barang lain atau dengan alat penukar yang diakui melalui suatu akad jual beli, atas dasar suka sama suka (antarodin) yaitu saling ridho penjual dan pembeli atas suatu barang yang di perjual belikan. Dan dasar hukumnya dari hadits adalah:
“Allah mengasihi seorang hamba yang toleransi saat menjual dan toleransi saat membeli dan toleransi dalam menuntut haq”. Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
Menurut Abdullah Abdul Husain (2004: 182), Telah ada ketetapan dalil-dalil yang shahih dalam Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ bahwa tambahan yang disyaratkan terhadap harta pokok ketika terjadi transaksi pinjam-meminjam, dianggap riba yang diharamkan menurut syari’at. Jika sesuatu sudah ada ketetapan pengharamannya menurut syari’at, maka tidak dapat dibuat halal karena ada saling ridha. Umpanya ada seorang laki-laki berzina dengan wanita, keduanya saling ridho dan suka sama suka. Apakah zina itu menjadi halal bagi keduanya ? Atau ada seorang laki-laki menikah dengan saudari kandungnya, keduanya saling ridha. Apakah pernikahan ini sah ? jawabannya adalah tidak, dikarenakan hukum asal dari perbuatan tersebut adalah haram dan tidak bisa ditawar lagi pada kondisi saat ini.
Contoh untuk kasus jual beli yang nerupakan penerapan dari antaroddin misalnya ketika kita berbelanja di toko atau supermarket, kita hanya melihat harga yang tercantum pada barang yang dijual tersebut. Kita tidak pernah melakukan akad dengan penjual barang tersebut, setelah kita memilih dan menetapkan barang yang ingin kita beli maka kita hanya tinggal membayar. Transaksi jual beli seperti ini termasuk sah, karena sudah ada saling ridho (antaroddin) dari kedua belah pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar